dok. istimewa/ Wacana jabatan 3 periode untuk seorang presiden merupakan bagian dari kehidupan berdemokrasi, (29/8).
Info Investigasi, Jakarta - Presiden RI Joko Widodo blak-blakan tak melarang wacana presiden menjabat tiga periode bergulir.
Hal itu ia ungkapkan merespons dukungan yang dilontarkan para pendukungnya dalam forum Musyawarah Rakyat (Musra) Indonesia yang digelar di gedung Youth Center, Sport Center Arcamanik, Bandung, Jawa Barat, Minggu (28/8/2022).
"Kan ini forumnya rakyat, boleh rakyat bersuara kan," kata Jokowi di hadapan para pendukungnya.
Jokowi mengeklaim, mengemukanya wacana jabatan 3 periode untuk seorang presiden merupakan bagian dari kehidupan berdemokrasi.
Bagi dia, wacana-wacana perpanjangan masa jabatan presiden tak berbeda dengan desakan publik agar presiden diganti atau mengundurkan diri.
"Karena negara ini adalah negara demokrasi, jangan sampai ada yang baru ngomong 3 periode (lalu) kita sudah ramai," ungkapnya.
"Itu kan tataran wacana. Kan boleh saja orang menyampaikan pendapat, orang kalau ada yang ngomong 'ganti presiden' kan juga boleh, ya enggak? 'Jokowi mundur' kan juga boleh," kata Jokowi.
Dalam forum ini, Jokowi juga kembali menerima dukungan dari para pendukungnya untuk maju lagi sebagai orang nomor 1 di republik lewat Pilpres 2024.
Merespons dukungan itu, mantan Wali Kota Solo tersebut mengaku dirinya akan taat kepada kehendak rakyat, selain kepada konstitusi.
Mulanya, ia bercerita soal adanya pertanyaan-pertanyaan dari para pendukung soal sosok yang perlu mereka dukung dalam Pilpres 2024.
"Ya nanti, ini forumnya, (di) Musra ini ditanya, siapa?" ujar Jokowi.
Pertanyaan itu kemudian dijawab dengan seruan "Jokowi, Jokowi" dari para pendukung. Jokowi pun merespons.
"Jokowi, Jokowi. Konstitusi tidak memperbolehkan, ya, sudah jelas itu," kata dia.
"Sekali lagi. Saya akan selalu taat pada konstitusi dan kehendak rakyat," lanjut Jokowi disambut tepuk tangan para pendukung.
Kalimat yang sama kemudian ia ulang sama persis sekali lagi. Namun, justru para pendukungnya semakin kuat mendesaknya maju lagi sebagai capres.
"Tiga kali!!!!" seru mereka.
"Jokowi! Jokowi! Jokowi!" mereka bersorak sambil bertepuk tangan.
Ia kemudian mengundang salah satu orang dari kelompok pendukungnya di sana untuk maju menghampirinya.
Seorang perempuan mengaku bernama Jeni asal Kota Bandung kemudian dipilih menghadap. Jokowi kemudian bertanya, siapa sosok yang akan didukung oleh Jeni untuk maju capres 2024.
"Pak Jokowi, Pak Jokowi lagi," jawabnya.
"Wong sudah diberi tahu, konstitusinya enggak boleh," sahut Jokowi.
"Rakyat mengharapkan Bapak," jawab Jeni lagi.
Jokowi lalu menghadiahinya jaket G20 yang menurutnya tidak dapat dipakai sembarang orang.
Demokrasi diperalat untuk otoritarianisme
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet mengkritik wacana supaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat 3 periode yang terus digaungkan, menilainya sebagai gejala ke arah otoritarianisme menggunakan topeng demokrasi.
"Mobilisasi dukungan 3 periode bukan gejala demokrasi tapi gejala ke arah otoritarianisme," kata Robet kepada Kompas.com, Kamis (31/3/2022).
"Dia diinisiasi oleh elit dengan menginterupsi proses di mana demokrasi dan tradisi sirkulasi elit sedang berjalan baik," ujar Robet.
Robet yang juga seorang aktivis hak asasi manusia mengatakan, gerakan yang mendukung supaya Jokowi menjabat 3 periode mirip dengan yang terjadi di masa Orde Baru.
Di masa Orde Baru, kelompok fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Golkar, serta sejumlah menteri yang pro pemerintah kerap mengklaim Soeharto masih didukung oleh rakyat untuk terus berkuasa.
Selain itu, para menteri di masa Orde Baru terus melontarkan wacana pemerintahan Soeharto berhasil dalam melakukan pembangunan, sehingga layak untuk dipertahankan untuk terus menjadi presiden.
Saat itu di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak tercantum pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden seperti saat ini.
Pembatasan masa jabatan kekuasaan merupakan amanat reformasi yang vital guna mencegah timbulnya kembali otoritarianisme di mana penguasa dapat bercokol begitu lama.
"Mobilisasi politik semacam ini mengulang praktik kebulatan tekad Orde Baru yang digunakan untuk memberikan justifikasi Suharto memperpanjang kekuasaan," ujar Robet. (dw/*)